Masih banyak yang mengira bulan Safar sebagai bulan sial dan penuh musibah—padahal keyakinan ini hanyalah warisan dari masa jahiliyah yang telah dibantah langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ. Artikel ini mengulas akar mitos bulan Safar, bagaimana Islam meluruskannya, hingga fakta sejarah bahwa Rasulullah ﷺ sendiri pernah melakukan perjalanan penting di bulan ini. Termasuk penjelasan tentang hukum umrah di bulan Safar yang justru bisa menjadi momentum ibadah yang lebih khusyuk dan tenang karena suasananya yang lengang. Baca penjelasan lengkapnya untuk memahami duduk perkara yang sebenarnya, dan luruskan niat ibadah tanpa terpengaruh mitos.
Mitos Bulan Safar Sebagai Bulan Sial Masih Diyakini Sebagian Orang

Mitos Bulan Safar: Benarkah Penuh Musibah?
Dari dulu, saya sering dengar orang bilang kalau bulan Safar itu bulan sial. Katanya, banyak musibah terjadi di bulan ini—mulai dari kecelakaan, penyakit, sampai urusan pernikahan atau perjalanan yang sebaiknya dihindari. Bahkan ada yang sengaja menunda rencana penting karena takut dengan “sialnya bulan Safar.”
Tapi pertanyaannya, benarkah bulan Safar memang membawa kesialan?
Kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata anggapan ini tidak punya dasar yang kuat dalam Islam. Keyakinan bahwa Safar adalah bulan penuh musibah atau bencana sebenarnya termasuk warisan dari kepercayaan jahiliah, yang sudah dibantah oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, beliau dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kesialan dalam bulan Safar. Artinya, semua hari dan bulan dalam Islam itu sama-sama diciptakan Allah dengan hikmah dan keberkahan masing-masing.
Namun, yang menarik, sampai sekarang pun masih ada sebagian masyarakat yang percaya pada mitos ini. Padahal, kalau kita lihat realitanya, justru banyak aktivitas ibadah seperti umrah, pernikahan, atau bahkan kegiatan bisnis tetap berjalan normal—bahkan cenderung meningkat di bulan Safar. Termasuk saya sendiri pernah umrah di bulan ini, dan Alhamdulillah semuanya lancar tanpa halangan berarti.
Jadi, daripada terjebak dalam mitos yang tak berdasar, lebih baik kita luruskan pemahaman. Bulan Safar, seperti bulan-bulan lainnya, adalah bagian dari ketetapan Allah. Musibah atau kebaikan yang terjadi bukan karena bulan tertentu, tapi karena kehendak Allah dan bagaimana kita menjalani takdir-Nya.
Mengungkap Akar Mitos Bulan Safar dalam Budaya dan Kepercayaan Lama

Kalau kita menelusuri sejarahnya, anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial ternyata bukan hal baru. Kepercayaan ini sudah ada sejak masa jahiliyah, jauh sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab saat itu meyakini bahwa Safar membawa nasib buruk, sehingga mereka menghindari aktivitas penting seperti bepergian, berdagang, atau menikah di bulan ini. Bahkan ada yang percaya bahwa berbagai musibah dan penyakit lebih sering terjadi saat Safar berlangsung.
Karena itulah, banyak dari mereka yang memilih untuk menunda berbagai urusan, hanya karena takut akan “kesialan” yang dipercaya melekat pada bulan tersebut. Ini tentu sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi lokal yang penuh dengan takhayul dan asumsi tanpa dasar.
Namun ketika Islam datang, Rasulullah ﷺ meluruskan berbagai keyakinan keliru tersebut. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, beliau dengan tegas menyatakan bahwa “tidak ada kesialan dalam bulan Safar.” Ini menjadi penegasan bahwa dalam Islam, tidak ada bulan yang membawa nasib buruk. Semua waktu adalah ciptaan Allah dan tidak ada satu pun yang secara khusus membawa sial atau keberuntungan.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini—baik maupun buruk—adalah bagian dari takdir Allah, bukan karena pengaruh waktu atau bulan tertentu. Sayangnya, meski sudah dijelaskan dalam ajaran agama, pengaruh mitos ini masih terasa hingga sekarang di sebagian masyarakat. Itulah mengapa penting untuk memahami akar sejarahnya, agar kita tidak lagi terjebak dalam keyakinan yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Islam Membatalkan Kepercayaan Jahiliyah tentang Bulan Safar

Islam Membatalkan Kepercayaan Jahiliyah tentang Bulan Safar
Salah satu tugas besar Islam ketika datang adalah membebaskan umat manusia dari belenggu keyakinan jahiliyah—termasuk dalam hal cara pandang terhadap waktu. Dulu, masyarakat Arab pra-Islam menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh kesialan. Mereka percaya bahwa Safar adalah waktu yang membawa nasib buruk, sehingga banyak dari mereka menunda perjalanan, enggan menikah, atau menghindari keputusan besar selama bulan ini berlangsung.
Namun, Islam datang dengan ajaran yang jauh lebih rasional, bersih dari takhayul, dan berakar pada tauhid yang murni. Nabi Muhammad ﷺ secara tegas meluruskan pemahaman tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Tidak ada penularan tanpa izin Allah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan karena bulan Safar.”
Menurut saya pribadi, hadits ini sangat relevan untuk terus disampaikan di zaman sekarang. Sebab meskipun sudah hidup di era modern, masih saja ada sebagian orang yang percaya bahwa bulan Safar membawa sial. Padahal, Rasulullah ﷺ dengan sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada bulan, makhluk, atau tanda-tanda alam tertentu yang secara mandiri dapat membawa keburukan. Semua yang terjadi di dunia ini—termasuk musibah atau keberuntungan—terjadi atas kehendak dan izin Allah.
Pernyataan Nabi ﷺ ini bukan hanya membantah mitos, tapi juga mengajarkan kita untuk menaruh keyakinan hanya kepada Allah. Kalau masih ada ketakutan terhadap bulan tertentu, berarti masih ada kepercayaan bahwa sesuatu selain Allah bisa memengaruhi nasib kita. Dan itu jelas bertentangan dengan ajaran tauhid.
Sebagai seorang Muslim, saya merasa kita perlu memurnikan kembali cara pandang terhadap waktu. Tidak ada yang salah dengan bulan Safar, sama halnya seperti bulan-bulan lain dalam kalender Hijriyah. Justru setiap bulan adalah kesempatan untuk memperbanyak amal saleh, termasuk di bulan ini. Jadi, daripada khawatir dengan “kesialan”, lebih baik kita manfaatkan bulan Safar untuk mendekatkan diri kepada Allah—dengan ilmu, ibadah, dan amal yang bermanfaat.
Bolehkah Melaksanakan Umrah di Bulan Safar? Ini Penjelasannya

Pertanyaan ini cukup sering saya dengar: “Bolehkah kita umrah di bulan Safar?” Atau lebih halusnya lagi, ada yang bilang, “Apa nggak sebaiknya ditunda saja? Katanya bulan Safar itu rawan musibah…” Saya pribadi paham, pertanyaan ini muncul bukan karena ingin membantah agama, tapi lebih karena warisan keyakinan lama yang masih melekat di sebagian masyarakat kita.
Padahal, kalau kita kembali pada ajaran Islam, jawabannya sangat jelas: boleh—bahkan sangat boleh—melaksanakan umrah di bulan Safar. Tidak ada satu pun dalil syar’i yang melarang ibadah apa pun di bulan ini, termasuk umrah. Justru, karena masih banyak orang yang enggan memilih bulan ini untuk beribadah, melakukan umrah di bulan Safar bisa menjadi ladang pahala yang istimewa. Kita menepis mitos, menegakkan tauhid, dan tetap mengejar amal salih—semuanya dalam satu langkah.
Rasulullah ﷺ sendiri membatalkan anggapan sial tentang bulan Safar. Dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda bahwa tidak ada kesialan karena bulan Safar. Artinya, bulan ini sama mulianya seperti bulan lainnya dalam kalender Hijriyah. Kalau memang benar bulan Safar membawa keburukan, tentu Nabi akan melarang aktivitas ibadah tertentu di dalamnya—tapi faktanya, tidak ada larangan semacam itu.
Bahkan, dalam sejarah, tercatat bahwa Rasulullah ﷺ sendiri pernah melakukan perjalanan di bulan Safar. Ini menjadi bukti bahwa bepergian, termasuk umrah, sah-sah saja dilakukan tanpa ada kekhawatiran akan “nasib buruk.”
Menurut saya, inilah saatnya kita menyikapi waktu dan peristiwa dengan iman, bukan dengan mitos. Kalau kita punya kesempatan untuk berangkat umrah di bulan Safar, kenapa harus ragu? Justru ini bisa jadi peluang spiritual yang luar biasa. Selain menjalankan ibadah di Tanah Suci, kita juga ikut berperan dalam membebaskan diri—dan orang-orang sekitar kita—dari belenggu keyakinan yang keliru.
Jadi, umrah di bulan Safar? Sangat dianjurkan, insyaAllah penuh berkah.
Perjalanan Rasulullah ﷺ di Bulan Safar: Fakta Sejarah yang Meluruskan Mitos

Kalau kita telusuri kembali sejarah Rasulullah ﷺ, ada fakta menarik sekaligus penting yang bisa menjawab keraguan banyak orang soal bulan Safar. Ternyata, beliau sendiri pernah melakukan perjalanan—baik yang bersifat militer maupun dakwah—di bulan Safar. Dan ini bukan satu dua kali, tapi tercatat dalam beberapa peristiwa besar yang diriwayatkan oleh para ahli sejarah Islam.
Salah satu contohnya adalah Perang Abwa’ (Waddan) yang terjadi di bulan Safar tahun kedua Hijriyah. Dalam misi ini, Rasulullah ﷺ memimpin pasukan Muslimin untuk patroli keamanan dan memperkuat eksistensi negara Islam di Madinah. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa—tapi bagian dari strategi dakwah dan pertahanan umat Islam kala itu. Artinya, Nabi ﷺ sendiri tidak melihat bulan Safar sebagai waktu yang harus dihindari.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa anggapan bulan Safar sebagai bulan yang “angker” atau penuh musibah tidak pernah berasal dari ajaran Islam. Justru, Rasulullah ﷺ dengan tindakannya secara langsung membantah keyakinan jahiliyah itu. Beliau tidak hanya diam di tempat selama bulan Safar, tapi tetap bergerak, berdakwah, memimpin, bahkan berperang jika dibutuhkan.
Menurut saya pribadi, fakta sejarah ini penting untuk terus disampaikan. Karena sampai hari ini, masih ada yang takut untuk melakukan perjalanan, memulai usaha, bahkan menikah di bulan Safar karena takut ‘kena sial.’ Padahal, contoh nyata sudah ada: Rasulullah ﷺ sendiri tidak menghindarinya.
Jadi, kalau beliau yang paling mulia saja tidak pernah melarang perjalanan atau aktivitas penting di bulan Safar, maka tidak ada alasan bagi kita untuk takut. Islam tidak pernah mengajarkan bahwa bulan tertentu membawa nasib buruk. Semua bulan adalah ciptaan Allah, dan setiap hari adalah peluang untuk berbuat baik, selama kita ikhlas dan tawakal.
Menjalani Umrah di Masa Sepi: Pilihan Tepat untuk Ibadah yang Lebih Fokus

Saya pribadi merasa, menjalani umrah bukan hanya soal sampai ke Tanah Suci, tapi juga soal bagaimana hati kita bisa lebih dekat kepada Allah, tanpa banyak gangguan. Karena itu, banyak orang mungkin belum menyadari bahwa melaksanakan umrah di masa yang relatif sepi justru bisa menjadi pengalaman spiritual yang lebih dalam dan fokus.
Salah satu waktu yang sering dianggap “kurang ideal” oleh sebagian orang untuk umrah adalah bulan Safar—karena masih ada yang terpengaruh oleh mitos lama yang menganggapnya sebagai bulan sial. Padahal, Islam sudah sangat jelas membatalkan anggapan itu. Justru karena masih banyak yang percaya mitos, suasana di Masjidil Haram dan sekitarnya jadi lebih lengang di bulan-bulan seperti ini.
Bagi saya, kondisi ini sebenarnya adalah kesempatan emas. Bayangkan, kamu bisa menjalani setiap rukun umrah dengan lebih tenang—tidak berdesakan, tidak terburu-buru, dan bisa benar-benar menikmati suasana ibadah dengan hati yang khusyuk. Mulai dari tawaf di sekitar Ka’bah hingga saat-saat duduk berdoa di Multazam atau Hijr Ismail, semua terasa lebih lapang—baik secara fisik maupun batin.
Kondisi yang lebih tenang ini juga memberi ruang untuk refleksi diri yang lebih dalam. Kamu bisa meluangkan waktu lebih lama untuk berdoa, bermuhasabah, atau bahkan menangis dalam sujud tanpa merasa tergesa. Tidak ada hiruk pikuk yang memecah konsentrasi, dan tidak ada kerumunan besar yang sering membuat suasana jadi terburu-buru, seperti halnya saat musim puncak Ramadhan atau libur akhir tahun.
Itulah kenapa saya merasa umrah di masa sepi, seperti bulan Safar atau bulan-bulan non-puncak lainnya, adalah pilihan cerdas bagi siapa saja yang ingin benar-benar merasakan kedekatan dengan Allah. Mungkin tidak ramai, mungkin tidak penuh kerabat yang ikut, tapi justru di situlah letak ketenangan yang tidak tergantikan.